25.4.12

Banmed Konser Slank


“Bu.. teteh boleh gak ikutan jadi tim medis konser Slank?”

“Kapan?”

“Malem sekarang jam 6 sampai jam 9 di gasibu.”

“Pulangnya gimana?”

“Katanya dianter panitia bu.”

“Iya sok aja, ati-ati, asal niatnya yang bener, harus karena Allah.”

“hehee . .insya Allah.”


Selasa, tanggal 24 April 2012 Vol-D mendapat amanah untuk menjadi tim banmed (Bantuan Medis) dalam acara yang diselenggarakan oleh LESBUMI (Lembaga Budaya dan Seni), dalam acara itu akan ada konser Slank dari jam 18.00-21.00 di lapangan Gasibu. Pagi itu, seusai solat subuh segera saya meminta izin ibu untuk terjun menjadi tim medis disana, Alhamdulillah ibu memberi izin.


***


Jam dinding menunjukkan pukul setengah 6 petang.

“Bu.. teteh pergi sekarang ya.” (sambil mau sun tangan)

“Gak solat magrib dulu? solat magrib nya di rumah aja.”

“Ya udah atuh.” (saya manut-manut aja)


Setelah selesai solat magrib saya berangkat, butuh waktu setengah jam dari rumah ke gasibu naik angkot 2 kali. Jam setengah 7 akhirnya sampai juga.


Aduh, saya kebingungan, dimana pintu masuknya, semuanya dipager lumayan tinggi, saya ambil ponsel segera telpon selly.


“Sel, masuknya lewat mana, aku udah di belakang panggung.” (sambil teriak berusaha mengalahkan sound konser yang brang breng brong bikin gaduh)

“Kamu jalan ke kanan panggung ntar ada gerbang kecil, masuk, bilang aja dari tim medis.” (teriak-teriak juga)

“Ke kanan mana sel, gak ngertii…” (tengok kiri kanan, sambil agak takut, berada di tengah orang-orang bergaya punk dengan baju bersablon Slank, nampaknya mereka penggemar beratnya Slank)

Tut tut tuttt…. Telpon terputus, saya lanjutkan dengan sms.

“Sel, Vol-D pasang bendera gak? Aku kayanya liat bendera Vol-D.” (terlihat samar karena temaram, tidak tersorot lampu, di belakang panggung besar pula)

“Iya, kamu dimana?”

Saya lambaikan kedua tangan, selly dan Mbak Res membalas lambaian saya, akhirnya ketemu juga.


Dari jauh terlihat 2 sosok laki-laki yang berjalan semakin mendekat. Yang satu bisa saya tebak, itu Kang Ahmad (senior Vol-D), satunya lagi saya tak kenali, mungkin itu panitianya, karena menenteng SLR, memakai ID, juga earphone.

“Lewat mana kang masuknya?”

“Lestari manjat aja, bisa?” kata kang ahmad (serius apa bercanda itu teh? Saya gak tau, karena kang ahmad itu mau serius mau bercanda air mukanya sama aja, datarrr… V(^_^)V piisss kang pisss kang)

“Gak bisa kang, ini pake rok.” (padahal mah kalo pake celana juga gak mau disuruh manjat-manjat pager)

“Bentar teh, tolong pegangin dulu.” Kata panitia (yang belakangan saya ketahui dia sebaya bernama dimas FH UNPAD) sambil menyodorkan SLR lewat atas pager, akhirnya kang panitia manjat, lalu mengantarkan saya ke pintu masuk.


***


Pukul 7 lebih banyak, suasana masih aman terkendali, kami masih bisa duduk santai, mendengarkan genjrang genjreng gitar listrik, hantaman drum, dan suara rock yang serak serak kering. Ya Allah, adaaa aja orang yang suka sama aliran musik macem ini, mungkin gendang telinga mereka sudah dibiasakan, resisten dengan suara-suara keras akhirnya menebal dan tahan (ngarang pisan). Jujur, saya mah ampun bang ampuunn!! gak kuaatt . .


Beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki kurus memakai kaos biru, rompi biru berbordir “Kroya Slanker Jawa Tengah” di bagian punggungnya, berjalan terhuyung-huyung berjingkat 1 kaki mendekati tenda medis. Ternyata telapak kakinya robek sedikit, dengan cekatan kang dani (kenalin.. beliau bapaknya Vol-D :D) segera melakukan treatment. Aqua gelas, gunting, rivanol, kasa steril, plester gulung, alat sederhana yang menjadi senjata untuk bertempur dengan kulit kaki yang robek. Kang dani menggunting sedikit kulit yang kelewer-kelewer, tiba-tiba keinget video Mer-C yang harus mengamputasi tangan korban konflik dengan menggunakan gergaji biasa (ini komparasi yang jauh sebenarnya :p).


Lalu, selang beberapa menit, ‘korban KO’ mulai berdatangan. Gejala dan keluhannya hampir sama semua. Hiperglikemi, maag, sesak nafas, mereka datang dengan kondisi lunglai, lemas, dibopong, ada juga yang pingsan. Dari belasan ‘korban’ yang berjenis kelamin lelaki hanya ada 1 gadis termasuk ke dalam daftar rentetan ‘korban’ malam itu. Segera kami beri minum air putih hangat atau teh manis, melonggarkan semua pakaian yang nampak mencekik tubuh agar lebih lega, memberi respon bau-bauan (balsem) untuk yang tidak sadar, memijat, mengobati, mengipasi dan lain-lain.


***


Dalam postingan kali ini saya hanya ingin berbagi perspektif..

Ya Allah . .sebenarnya apa yang mereka cari di dunia ini? Apa yang mereka kejar? Apa yang mereka bela? Apa pula yang mereka idolakan? Malam itu, sederet pertanyaan retoris muncul dalam benak. (sambil membuka sepatu lelaki sebaya memijat pangkal kakinya yang tepar dan nampak tidak berdaya).


Sedih , ketika seorang beragama Islam tapi tidak berusaha untuk memahami tujuan kita dicipta dan memahami tujuan hidup sebenarnya.


Sempat saya tanya pada beberapa ‘korban’..

“Mas, beneran dari jawa tengah?”

“Iya.” (sambil mengangguk lemah)

“Teteh, darimana teh?”

“Indramayu.” (dengan suara lirih)

“A, rombongan darimana? (korban yang diantar teman-temannya)

“Malangbong teh.” (kata salah seorang temannya)


Ternyata para korban kebanyakan berdomisili di luar kota Bandung. Tapi anehnya, mereka mau jauh-jauh datang ke Bandung hanya untuk nontonin idolanya. Idola dunia. Berjingkrak, berteriak, berdesakan, mereka rela. Sungguh sebenarnya itu adalah kenikmatan semu dan sesaat.


Saya bertanya pelan sama mas-mas yang lemas terbaring beralaskan tanah.

“Mas-mas… itu idolanya lagi nyanyi mas, bangun mas.”

Hanya diam. Tidak berespon. (mungkin suara saya terlalu pelan hingga lenyap ditelan lagu ‘Pandangan Pertama’ versi Slank)


Sampai yang terparah hingga harus dibawa ke rumah sakit Hasan Sadikin karena terus mengeluh sesak sambil menggeliat, meringis-ringis nyeri, mengernyitkan dahi, sakit di bagian dada, seperti sekarat.


Ya Allah . .mohon jangan kau ambil nyawa kami dalam keadaan yang sia-sia, dalam keadaan yang sedang lalai. Ambillah nyawa kami dengan baik-baik, siapa yang tidak ingin bila nanti saatnya tiba mengakhiri hidup dalam keadaan khusnul khatimah, mengakhiri hidup dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT.


“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekalipun kamu mati melainkan dalam keadan beragama islam.” (QS. 3 : 102).


Tidak semua orang tercapai keinginannya mati dalam keadaan khusnul katimah, jika selama hidupnya di dunia tak pernah mengerjakan amal kebajikan. Hidup sehari-harinya selalu dirong-rong oleh syetan, menurut hawa nafsu, berlumur dosa, dan dia tidak mengenal iman juga islam, apalagi bertaqwa kepada Allah, maka orang semacam ini justru mati su’ul khatimah. Jadi, keinginan mati khusnul khatimah tidak hanya sekedar angan-angan belaka, tetapi harus ada realisasi dalam kehidupan sehari untuk beramal kebajikan dengan meninggalkan segala yang dilarang oleh Sang Penguasa Yang Esa, Allah SWT.


Terimakasih untuk para superman (k’dani, k’ahmad, k’kiki) dan para wonderwomen (t’monic, t’nanash, t’zielda, t’ana, rara, restya, selly).


Malam itu saya dapatkan pelajaran baru, semoga kita semua dapat menarik hikmah dalam setiap kejadian, semoga apa yang kita kerjakan masih terdapat nilai-nilai kebaikan, dan ikhlas Lillahi Ta’ala. .aamiin


kontributor:
Lestari Amaliani (Volunteer Doctors Gelombang 4)

23.4.12

Inspiring Student Social Movement Award

Selamat Volunteer Doctors atas diraihnya penghargaan sebagai “Inspiring Student Social Movement” Kategori Pelayanan Kesehatan dan Penanggulangan Bencana Alam.



Semoga semakin menginspirasi kita untuk terus mengabdi, melayani, dan berkontribusi. Semoga menjadi pemantik semangat setiap kita untuk terus beramal, guna membawa orang tua kita ke surga Nya kelak. :’)

Bangga dengan kalian!

Poster Volunteer Doctors




Volunteer Doctors dalam salah satu poster nya, sebuah poster di stand exhibition seminar nasional Research and Community Development Center 2012

Sebatas Awan Nisbi

Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Bismillah,
Ayat berulang dalam surah Ar-Rahman ini kembali mengingatkan saya akan satu kegiatan unik di rumah belajar Ciroyom. Malam hari, 17 Maret 2012, selepas magrib, saya dan seorang teman saya mengunjungi rumah belajar (rumbel) Ciroyom untuk memfiksasi satu kegiatan volunteer doctors berkenaan dengan rumbel ini. Sebelumnya, jujur, saya belum pernah datang ke tempat seperti ini, tempat perkumpulan anak-anak jalanan, terletak di parkiran atas gedung pasar Ciroyom yang fungsi aslinya sudah tak banyak digunakan lagi.
Lokasi yang lumayan asyik untuk kegiatan perkumpulan, sebuah masjid berukuran sedang berdiri disana juga terhampar halaman luas, khas tempat parkir. Memasuki ruang dalam masjid lalu disambut riuh anak-anak yang berlari-lari tak beraturan, saling mengejar, saling tertawa, mereka lepas, apa adanya. Meskipun saya sama sekali tidak terbiasa dengan penampilan mereka, manusiawi saya berhasil menuntun berfikir bahwa mereka sama dengan saya, mereka makhluk penyempurnaan ciptaan Sang Khalik, mereka manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saya duduk, mengambil ancang-ancang mendekati relawan lain yang entah siapa dan darimana asalnya. Malam-malam begini, mereka masih setia menemani puluhan anak jalanan ini, membungkusi kue-kue dalam satu kardus kecil cantik, merapikannya lalu menyusunnya, ada apa sebenarnya? Selagi teman saya berdiskusi dan beradvokasi dengan si empunya rumbel terkait kegiatan kami esok harinya, saya yang sebenarnya hanya menemani, memilih untuk mendekati personal anak-anak jalanan itu.
Ketika duduk mendekat kearah pintu keluar, saya bertanya pada seorang anak rumbel itu, “ini mau ada apa de, banyak kue-kue?” mereka menjawab, “kita mau tampil, Ka.”Oh ya, saya ingat bahwa malam itu akan diadakan teater pementasan purnama, mereka akan menari dan bernyanyi. Menarik, sayang terlalu malam, rumah sudah memanggil-manggil minta segera pulang.
Dengan jalan menunduk, seorang anak laki-laki membuka lemari di sudut kiri masjid, membukanya dan mencari-cari sesuatu. Dia berhasil membawa keluar sebuah buku gambar dan pensil lalu kemudian berjalan mendekat. Seraya dia menghempaskan badannya, duduk dengan ringan tepat di hadapan saya. Saya tersenyum, tapi tidak dibalas. Dia kembali menunduk, membuka-buka halaman demi halaman buku gambar, mencari kertas yang masih kosong. Saya mengira umurnya sekitar 9 atau 10 tahun, rambutnya acak-acakan, saya tidak berani mengira kapan terakhir dia mandi.
Dengan perlahan, si anak menggoreskan pensilnya pada kertas membuat lima segitiga bersambung, saya mengira itu adalah gunung. Lalu dia menambahkan diujung segitiga yang kelima dua buah garis yang semakin lama semakin membesar kearah bawah, saya mengira itu adalah jalan. Lengkap dengan garis-garis tenganya. Setelahnya, dia menoleh ke arah saya, menyodorkan pensilnya dan menyuruh saya membuatkannya sebuah rumah dengan perkataan yang terbata-bata, belum lancar. Saya menggambarkan sebuah rumah dan berkata padanya,
“mau rumah tingkat berapa?”
“2 aja ka.”
“ini teteh contohin satu, kamu buat disebelahnya ya.” Tidak digubris, dia tidak mau.
“Yaudah, gambar gentengnya aja. Garis-garis kecil-kecil sini.”
“ga mau. Ka, bikinin kebun stroberi.”
“ga mau. Buat dulu gentengnya.”
“ah! Ga mau. Cepet ka buat kebun stroberinya.”
Hm, ini anak bandel ya, ga nurut. Kemudian saya membuat garis-garis horizontal dan vertikal membentuk atap rumah di lantai satu rumah gambaran saya.
“nih, tinggal gini. Tarik...tarik...sreeet...sreeet..” saya mencontohkan. Kemudian saya mengembalikan pensil kepadanya, dan dia akhirnya mau membuat garis-garis atap di lantai dua. Dengan perlahan dan lumayan acak-acakan, saya lega, setidaknya dia mau menurut.
Lalu dia minta dibuatkan kebun stroberi, saya bingung mau gambar apa. Akhirnya saya membuatkan sawah khas gambar anak sd, berpetak-petak lengkap dengan tanda ceklis yang melambangkan padi tumbuh. Saya dengan bangga memperkenalkan, bahwa gambaran itu adalah kebun stroberi.
“Ayo, kasih ceklis ceklis disini, garis-garis aja.”
Ya. Dia mau.
“O ya, namanya siapa de?” hening. Tidak ada jawaban. Dia khusyu membuat garis-garis. Menunggu dia selesai dengan garisnya, saya kembali bertanya namanya, dia jawab “Yudi”.
“ka, bikin matahari itu gimana?”
“bulet aja de.”
“gambarin ka.”
Akhirnya saya membuat lingkaran, lengkap dengan mata dan senyum melengkung di dalam lingkaran. Semakin melunjak, si anak menyuruh saya membuat awan. Saya membuatkan satu, kemudian menyuruhnya melanjutkan, dia tidak mau. Lagi-lagi menyuruh saya menggambarkan awan yang banyak untuknya. Ah, dia tidak akan belajar kalau begini. Saya berfikir dia anak malas, yang ingin gambarnya bagus tapi tidak mau mengerjakannya. Saya bilang agar dia yang melanjutkan, tapi dia malah acuh dan mendumel memaksa saya menggambar, dengan jawaban yang sama “ga mau, cepet gambar ka”
Saya menarik tangannya, membenarkan pegangan pensilnya, lalu menuntunnya membuat awan. “Teteh ajarin buat awan ya.” Dengan mata yang sepertinya tertarik, dia mengikuti setiap gerakan tangan saya diatas tangannya. Awan dengan enam lengkungan berhasil kami buat. Kami mencoba membuat awan lainnya.
“satu..dua...tiga...empat...lima...enam...” setiap lengkungan awan kami berhitung. Lalu setelahnya saya melepasnya dan membiarkannya menggambar sendiri.
“Ayo coba.”
Dan hasilnya... sebuah garis lurus, bukan lengkungan.
“eh ka, gimana tadi?”
Saya menuntunnya kembali menggambar satu lengkungan, dia melanjutkannya. Namun belum berhasil juga. Berkali-kali dia hapus garis yang dibuatnya. Saya menuntunnya kembali. Lama kelamaan, dia berhasil membuat lengkungan penuh awan. Hm, saya mulai berfikir.
Dia kembali meminta saya membuatkan burung. Hal yang sama saya lakukan seperti tahap membuat awan. Menuntun tangannya membuat burung, kemudian dia melanjutkan. Awalnya, lengkungan buruk yang dia buat. Tangannya menekan pensil, namun lengkungannya masih tetap buruk. Saya akhirnya sadar, dia bukan bandel dan tidak nurut ketika saya meyuruhnya membuat awan, dia hanya tidak bisa membuat lengkungan.
Pantas, dia menggambar gunung, jalan, dan atap rumah yang hanya bergaris lurus, namun sangat kesulitan saat membuat matahari, awan, atau burung. Saya menarik tangannya kembali, membiasakannya membuat lengkungan. Dia mau belajar. Sampai akhirnya dia asyik sendiri dengan lengkungan-lengkungannya.
Iya, ada banyak hal yang mungkin menurut kita sepele. Di saat usia kita menginjak 9 tahun, kita sudah pandai perkalian dua angka. Tapi sebagian orang bahkan belum bisa menambahkan angka. Dari malam itu, saya sangat bersyukur bahwa Allah telah limpahkan saya kemampuan belajar lebih cepat dibanding anak ini. Pengalaman langsung memang selalu membekas di memori kita, bagaimana rasanya tertampar karena sering mengeluhkan kekurangan diri, memandang keatas, membandingkannya dengan kelebihan orang lain, padahal tindakan tersebut merupakan sumber kepesimisan. Lalu lupa sebenarnya kita patut bersyukur atas kelebihan diri. Sempat tak bisa berkata-kata, hanya menyaksikan si anak membuat lengkungan demi lengkungan, lalu, nikmat Tuhan mana yang bisa saya dustakan?
Dunia sosial kemanusiaan memang ranah pembelajaran diri sebagai makhluk Tuhan. Dimana kelebihan dan kekurangan akan saling melengkapi. Ranah tempat kita menemukan banyak sarana untuk bersyukur, lalu merasakan sendiri nikmatnya rasa syukur itu. Sesekali, rasanya seperti dada terhimpit, dan mata mulai tak sanggup menahan laju air, mereka hanya belajar bagaimana cara untuk hidup dan mencari makan untuk kepastian esok perutnya bisa kenyang. Lalu kita lupa untuk berbagi. Manisnya berbagi didapatkan dengan memberi, hal itu adalah sebuah keniscayaan bahwa kita akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kita beri, mungkin tidak saat ini, tapi Allah tidak pernah lupa mencatatnya.
Pelayanan yang kita berikan kepada sesama itu sesungguhnya sewa yang kita bayar untuk tempat di bumi ini. Jelaslah bahwa maksud dunia ini bukanlah untuk memiliki dan mendapatkan, melainkan untuk memberi dan melayani.
Kemudian saya meninggalkannya malam itu, si anak laki-laki kecil berpakaian kotor yang bahkan, tidak bisa membuat lengkung.

kontributor:
Detin Nitami (Volunteer Doctors Gelombang 4)