24.9.12

Kita dan Rasa Sepi Seorang Ibu

Mengambil hikmah di seberang waduk Jatiluhur, Purwakarta. Berkisah tentang perburuan janda jompo di Parang Gombong, untuk disantuni, diperiksa kesehatannya dan diobati. Menjajal malam dari rumah ke rumah, satu jompo ke jompo lainnya. Belajar tentang rindu, itu salah satu makna yang bisa kuikat malam itu.

Berawal dari pertemuanku dengan (sebut saja namanya) Nenek Ucuk, salah satu janda jompo yang kutemui dari 8 orang yang akan dikunjungi. Kediamannya hanyalah rumah panggung, kecil, berbentuk satu kamar, dengan penerangan luar yang tak terlalu terang. Tak pernah kubayangkan sebelumnya respon yang muncul dari beliau saat aku ketuk pintu rumahnya. Dengan tubuhnya yang renta, saat beliau keluar dan melihat kami, ia langsung menangis. Teriak, menangis histeris, haru. Tak pernah sebelumnya ada yang mau peduli dengannya, mengunjunginya, bertatap dengannya, bahkan sekadar duduk di teras rumahnya. Begitu tutur beliau sambil sesekali memeluk, merangkul, dan menggengam tangan kami disela-sela cerita dan tangisnya.

Nenek Ucuk, seorang yang hidup lebih dari 75 tahun ini masih sempat merasakan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Ia masih sempat menyaksikan banyak penyembelihan kepala manusia pada masanya. Ia yang pernah menyembunyikan anak-anak laki-laki seusiaku dulu dari kejaran penjajah di rumahnya. Kini hidup seorang diri, walaupun ia punya beberapa anak dan cucu. Kesehariannya hanya makan nasi dan kecap dua kali sehari, dan minum dengan air teh manis. Pekerjaannya, hanyalah pengumpul karung-karung bekas. Yang tak kalah menyedihkannya adalah ketika warga sekitar melarang anak-anak kecil mereka bermain di sekitaran rumah Nenek Ucuk ini. Selalu mereka ditakut-takuti bahwa rumah Nenek Ucuk ini adalah 'Sarang Babi'.

Menyaksikan rasa sepi seorang ibu. Itu yang pertama terlintas di benakku saat melihat sang Nenek menangis ketika kami kunjungi, ketika ia sadar bahwa masih ada yang peduli. Berpisah dengan anak, keluarga saja sudah meninggalkan rasa sepi yang gersang pikirku, apalagi jika ditambah harus dikucilkan dari lingkungan. Aku bisa merasakan refleksi yang serupa, akan perasaan mendasar tentang rindu seorang ibu akan anaknya, keluarganya malam itu. Rasa sepi ibu itu naluri yang sangat khas.

Melihat realita tersebut, ditengah padatnya rutinitas yang sering menguasai diri kita, kita perlu sejenak berbicara dengan hati sendiri tentang seperti apakah kiranya hari ini keadaan ibu kita. Rasanya tak berlebihan bila sejenak kita perlu berbicara dengan perasaan kita, adakah rasa sepi kiranya tengah bergelayut di hati ibu kita??

Suatu waktu dalam hidup kita, ibu kita pun adalah ibu yang kesepian. Merindukan kita yang mulai asyik dengan diri kita sendiri. Kita mulai membangun cara pandang berbeda, cita rasa berbeda, dan bahkan mencari alasan yang terlalu rumit untuk merasa tidak bisa memahami seorang ibu secara apa adanya. Di usia kita yang belum terlalu tegak menjadi lelaki atau perempuan dewasa, ibu kita masih dan akan selalu berkata, "Hati-hati nak." Dan terkadang kita banyak menjawabnya dengan " Sudah mengerti bu, aku sudah besar."

Kita dan orang tua memang ditakdirkan lahir di generasi yang berbeda, menghuni zaman yang tak serupa, mengalami perubahan-perubahan budaya yang tak sama, sehingga terkadang muncul perbedaan-perbedaan yang membuat komunikasi orang tua dan anak tak sepaham, kehendak yang tak seiring, dan pikiran yang tak sejalan. Kondisi seperti ini seringkali mewariskan rasa sepi di kehidupan orang tua. Bukan karena mereka ditinggalkan, tapi karena ada keinginan yang tak dapat dipahami oleh anaknya. Ibu kita yang umumnya lebih banyak menghabiskan hari-harinya di rumah memang kadang gagal menangkap dan memahami perubahan yang terjadi pada pribadi dan lingkungan anaknya, perubahan yang tidak disertai kedewasaan dan kemampuan menghormati sebagaimana seharusnya.

Suatu masa dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang menahan rindu. Menanti bertemu dengan anak-anak yang mulai terasa tak lagi membersamainya. Jangankan  bagi yang tak serumah karena harus merantau belajar, bahkan sebagian kita yang tinggal satu atap dengannya tak jarang seperti hidup dalam dunia yang berbeda. Kita dekat tetapi jauh.

Suatu ketika dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang mencintai kita dengan segenap perasaannya yang dulu, tidak berubah. Sama kuatnya, sama tulusnya. Suatu saat dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang tak lelah berharap dan berdoa untuk kita. Bahkan bila pun kita menganggap diri kita telah menjadi sesuatu. Sementara kita terkadang tumbuh dalam keangkuhan-keangkuhan, yang bersama itu mungkin cara kita memahami perasaan ibu kita pun sering berubah.

Sadarilah, bahwa sepi adalah jejak waktu yang tentu saja tak memberi rasa nyaman. Apalagi kita tak bisa tahu kapan ia akan berakhir. Dan seorang ibu adalah sosok yang mungkin sangat sering mengalami itu dalam hidupnya, meski mungkin kita kadang tak menyadari itu sebagai seorang anaknya. Sekali lagi, mari sejenak kita coba renungkan, bicara soal keadaan orang tua. Soal rasa sepi yang seringkali menerpa hidupnya. Saat kita masih punya kesempatan untuk membalas budi mereka, melakukan yang terbaik untuknya. Untuk ibu yang pengorbanannya tak terhingga. Agar jangan sampai ada kata "menyesal" di kemudian hari.

Mungkin kita juga adalah salah seorang anak yang telah membuat ibu merasa sepi, karena meninggalkannya untuk sementara, demi mengejar cita-cita. Hari ini, entah dimanapun setiap kita berada, mari sejenak bicara tentang rasa sepi ibu yang terus menyimpan cinta dan kasihnya pada kita sampai kapan pun. Mari sejenak kita merenungkan keadaannya, di kala kita sedang jauh dari sisinya. Apakah yang sedang dia lakukan kini?? Sesekali obati rasa sepinya dengan rela meninggalkan kesibukkan untuk sesaat pulang menemuinya, mencium tangannya. Atau terkadang, cukup dengan suara saja ibu telah merasa puas. Sebab terkadang dengan sepatah kata sapaan dari kita yang terdengar dari ujung telepon, telah membuatnya bahagia yang tak terkira.

Ibu memang selalu merindukan kita. Sangat merindukan kita. Sampai kapan pun. Gambar wajah kita selalu hadir di benaknya, bermain-main di pelupuk matanya. Dia selalu melempar ingatannya ke masa-masa lalu yang indah ketika kita masih bersamanya, mengenang segala tingkah lucu kita yang menggores kesan indah di hatinya.

Sukses seorang anak tentunya memberi rasa bangga dan puas di hati seorang ibu. Kelelahan selama bertahun-tahun yang dia alami, akan berakhir tanpa bekas manakala dia melihat anak-anak yang dibesarkannya dengan penuh cinta hidup dalam kemudahan dan keadaan yang lebih baik dari kehidupannya sendiri.

Tetapi tentu bukan hal itu yang paling membahagiakan seorang ibu. Selain kesuksesan dan keberhasilan, seorang ibu sangatlah ingin melihat anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang shalih, berbakti dan berakhlak mulia. Itulah yang paling membahagiakan orang tua. Tak ada yang paling menyenangkan hatinya dan menentramkan jiwanya selain melihat mereka tumbuh dalam ketaatan kepada Allah swt. Terlebih ketika mereka telah berada di usia yang semakin senja, selalu ada harapan agar anaknya kelak tetap mengenangnya setelah kepergiannya, dalam doa dan munajatnya, memohonkan ampun untuknya.

Rasa sepi yang paling dahsyat akan dirasakan seorang ibu ketika ia tak menemukan keshalihan pada diri anak-anaknya. Saat beribadah tak ada yang menemani. Ketika berdoa tak ada yang mengamini. Di kala sakit tak ada yang mendoakan. Akhir hidupnya dihantui rasa takut akan kegagalan menuai pahala anak-anaknya.

Rasa sepi yang dialami oleh ibu tentu tak cukup hanya kita bicarakan. Sebab bicara tak akan memberi manfaat untuknya, kecuali agar ada kesadaran yang muncul dari diri kita, untuk mengenali dan mengetahui kondisi itu. Bicara tak akan mengobati rasa sepi itu. Bicara tak akan mengurangi kesendirian dan kerinduan ibu. Yang harus kita lakukan kemudian adalah merenungi apa yang telah kita berikan kepada ibu. Merenungi adalah untuk mengukur kadar perhatian kita kepadanya, agar kita bisa memberinya lebih banyak lagi, dalam hal apapun.

Selalu taatlah kepadanya, jagalah hubungan baik dengannya, hindari hal-hal yang tidak disukainya. Ajaran agama tak memberi kita ruang untuk menolak apapun perintahnya, kecuali jika perintah itu menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya. Tunjukanlah selalu ketaatan kepada mereka, berikanlah bakti kita kepadanya.

"Tidak ada dosa yang dipercepat adzab kepada pelakunya di dunia ini dan Allah juga akan mengadzabnya di akhirat selain (dua hal), yang pertama berlaku zhalim, dan kedua memutus silaturrahim (dengan orang tua)" HR. Bukhari
 
"Telah berkata Rasulullah saw, ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan kepala rumah tangga yang membiarkan ada kejelekan (zina) dalam rumah tangganya" HR. Hakim

Maksimalkanlah kekuatan doanya, kejarlah doanya yang tak terhijab, mintalah ketulusannya, dan rengkuhlah ridhanya.

" Tiga doa yang mustajab, yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya: Doa orang yang terdzalimi, doa seorang musafir, dan doa orang tua untuk anaknya " HR. Tirmidzi
 
Sepenggal kisah pertemuan dengan Nenek Ucuk di Parang Gombong ini, sekali lagi bisa menjadi sebuah refleksi mendalam bagi kita, untuk sejenak bicara tentang rasa sepi seorang ibu. Yang ditengah kesepiannya itu, ia masih senantiasa melantunkan doa bagi anak-anaknya, maupun alm orang tuanya yang sudah lama meninggal. Menjadi sebuah refleksi bagi kita yang masih diberi kesempatan hidup, di masa usia yang masih terbilang 'muda.'

*sebuah catatan pasca Bakti Sosial Parang Gombong, Purwakarta, 23 September 2012*

Kontributor:
Dani Ferdian
Volunteer Doctors Gelombang 1

Perjalanan Parang Gombong, sebuah catatan pengabdian dan pencarian esensi dari perjalanan

“Bukan sekedar bermain dan mengabdi, ini semacam terdapat esensi di dalamnya”

That’s the point I get, after back from Parang Gombong, Purwakarta.

Sebuah desa yang menurut orang-orang community development sih desa itu sudah lumayan berkembang.

Ada senang, dan banyak haru di dalamnya.
Sulit dijabarkan sih sebenarnya, tetapi sangat melekat dalam ingatan.

Perjalanan Bandung-Parang Gombong, Purwakarta yang menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 2,5-3 jam (macetnya sih di kota Bandungnya sendiri). Perjalanan yang seru dengan orang-orang yang istimewa, dengan  keluarga yang luar biasa “Volunteer Doctors” dan Kampus Peduli.

Tak ada masalah dengan medan yang harus dilalui, sepanjang perjalanan diliputi pepohonan yang menambah sedikit kesejukkan ditengah panas menyengat kota Purwakarta. Begitupun dengan jalanan yang rapi, sudah diaspal namun langka dilalui kendaraan. Perjalanan melewati bahkan hampir mengelilingi keseluruhan waduk Jatiluhur itu, membuat semarak perjalanan semakin bertambah.

Setibanya di suatu tempat pemberhentian perahu untuk menyebarangi “danau” itu membuat senyum kami tak pernah terlepas setengah-setengah karena pemandangan yang hadir selalu bisa membuat kami melepas tawa dengan pose andalan (alias narsis), kece banget kan?

Mengarungi danau, dengan menggunakan perahu yang dapat menampung  bejibun barang bawaan kami untuk baksos dan pengobatan gratis, serta ditambah beban berat tubuh akumulasi dari kami yang kurang lebih berjumlah 16 orang, tidak membuat kami takut, justru sebaliknya, kami merasa sangat senang. Perjalanan yang tak terasa berlangsung selama kurang lebih 10 menit itupun dilalui dengan perasaan tak was-was sama sekali.

Setiba di sana, kami mendiami salah satu rumah warga, eh dua rumah warga, satu rumah yang akan ditinggali oleh para ikhwan, dan satu rumah yang akan ditinggali oleh para akhwat. Satu hal yang membuat kami merasa nyaman adalah sambutan luar biasa dari warga sekitar atas atensi kami di desa tersebut.
Tak terasa waktu semakin larut, perjalanan malam pun dimulai dengan “berburu janda” atau mengunjungi janda-janda jompo untuk diberikan sembako dan dilakukan pemeriksaan kesehatan gratis. Bahkan dalam hal ini saja, kami dari Volunteer Doctors membagi tim pemburu ke dalam 2 tim: (1) kami namakan tim cupuers. Mengapa? Karena medan perjalanan yang kami kunjungi tidak begitu berat. (2) tim garang, selain subjek untuk diburu lebih banyak, medan yang dilalui pun jauh lebih terjal, berbatu, menanjak, gelap, dan yah … (selebihnya silakan deskripsikan sendiri)

Kurang lebih respon yang diberikan mereka hampir sama, mereka senang dengan kehadiran kami ke sana, mempedulikan dan membawakan sesuatu bagi mereka, yang menurut kami mungkin itu tak seberapa, tetapi bagi mereka itu sudah amat sangat berarti. Bahkan pada beberapa nenek yang umurnya mungkin sudah menginjak >75 tahun sampai menangis histeris, tak kuasa menahan haru, dan lagi-lagi kembali mengingatkan kami akan orang tua yang mungkin selalu merindukan anak-anaknya ketika mereka sendiri di rumah, dan selalu mengharapkan kehadiran anak-anaknya untuk segera pulang, sampai kecemasan yang orang tua rasakan ketika anaknya beranjak dewasa dan akan meninggalkan mereka. Ya, kami tersadarkan akan hal itu.

Rasa syukur tak henti-hentinya atas semua nikmat serba kecukupan yang kami miliki. Malu, bahwa mereka yang hidup seadanya saja tak pernah ambil pusing dengan kondisinya, tetap menikmatinya, dan  bagi mereka seperti tak pernah ada kuasa untuk mengeluhkan kondisinya. Sedang kami? Yang serba mudah, akses kemanapun bisa, kendaraan apapun ada di kota, semua kemudahan komunikasi dimiliki, lalu apa? Bersyukurpun mungkin sering luput dari ucapan dan perbuatan kami…

Tak berhenti di perjalanan malam gelap gulita berburu janda, keesokan harinya, kami membuka balai pengobatan gratis di salah satu rumah warga yang kami tumpangi.Mencengangkan dan cukup menjadi PR besar untuk kami, untuk saya terutama. Melihat kenyataan bahwa, di desa yang terlihat sudah cukup berkembang itu tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai, tidak ada bidan di desa tersebut, bahkan unit pelayanan kesehatan terkecil pun yakni posyandu, pada kegiatan posyandu, tak pernah ada bidan/ tenaga kesehatan lain yang datang. Kalau ditanya  dimana mereka yang akan bersalin lalu melahirkan oleh siapa ditolongnya, maka sudah pasti jawabannya oleh dukun beranak, bagaimana tidak? Tak ada satu pun Nakes di desa tersebut. Adapun Nakes di sana hanya seorang mantri, itupun tadi, ketika ada sesuatu yang berbahaya, ya mereka harus menyebrangi danau dan naik perahu untuk menolong warga di sana.

Menjadi PR besar bahwa bukan hanya kesehatan yang masih sangat sangat jauh membutuhkan perhatian dan sentuhan tangan-tangan yang betul-betul ingin mengabdikan diri di sana, dari bidang pendidikan pun begitu. Di desa sana hanya memiliki 1 bangunan SD, itupun tadi, SD tersebut letaknya cukup jauh dan harus menyebrang danau terlebih dahulu sebelum tiba di sana. Adapun lewat darat bisa saja, tetapi letaknya sangat jauh dengan medan perjalanan yang cukup membuat dahi berkernyit.

Tak pernah habis memang, sudah seperti mata rantai yang membuat kami pun bingung harus memulai dari mana dan oleh siapa? PR itulah yang harus mendapatkan jawabannya dengan segera, cepat atau lambat, oleh kami atau oleh siapapun… mereka yang sepenuhnya mau mengabdi, adalah di sini ladang yang tepat untuk mengabdikan diri...

Kontributor:
Andina Rostaviani
Volunteer Doctors Gelombang 3