24.9.12

Perjalanan Parang Gombong, sebuah catatan pengabdian dan pencarian esensi dari perjalanan

“Bukan sekedar bermain dan mengabdi, ini semacam terdapat esensi di dalamnya”

That’s the point I get, after back from Parang Gombong, Purwakarta.

Sebuah desa yang menurut orang-orang community development sih desa itu sudah lumayan berkembang.

Ada senang, dan banyak haru di dalamnya.
Sulit dijabarkan sih sebenarnya, tetapi sangat melekat dalam ingatan.

Perjalanan Bandung-Parang Gombong, Purwakarta yang menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 2,5-3 jam (macetnya sih di kota Bandungnya sendiri). Perjalanan yang seru dengan orang-orang yang istimewa, dengan  keluarga yang luar biasa “Volunteer Doctors” dan Kampus Peduli.

Tak ada masalah dengan medan yang harus dilalui, sepanjang perjalanan diliputi pepohonan yang menambah sedikit kesejukkan ditengah panas menyengat kota Purwakarta. Begitupun dengan jalanan yang rapi, sudah diaspal namun langka dilalui kendaraan. Perjalanan melewati bahkan hampir mengelilingi keseluruhan waduk Jatiluhur itu, membuat semarak perjalanan semakin bertambah.

Setibanya di suatu tempat pemberhentian perahu untuk menyebarangi “danau” itu membuat senyum kami tak pernah terlepas setengah-setengah karena pemandangan yang hadir selalu bisa membuat kami melepas tawa dengan pose andalan (alias narsis), kece banget kan?

Mengarungi danau, dengan menggunakan perahu yang dapat menampung  bejibun barang bawaan kami untuk baksos dan pengobatan gratis, serta ditambah beban berat tubuh akumulasi dari kami yang kurang lebih berjumlah 16 orang, tidak membuat kami takut, justru sebaliknya, kami merasa sangat senang. Perjalanan yang tak terasa berlangsung selama kurang lebih 10 menit itupun dilalui dengan perasaan tak was-was sama sekali.

Setiba di sana, kami mendiami salah satu rumah warga, eh dua rumah warga, satu rumah yang akan ditinggali oleh para ikhwan, dan satu rumah yang akan ditinggali oleh para akhwat. Satu hal yang membuat kami merasa nyaman adalah sambutan luar biasa dari warga sekitar atas atensi kami di desa tersebut.
Tak terasa waktu semakin larut, perjalanan malam pun dimulai dengan “berburu janda” atau mengunjungi janda-janda jompo untuk diberikan sembako dan dilakukan pemeriksaan kesehatan gratis. Bahkan dalam hal ini saja, kami dari Volunteer Doctors membagi tim pemburu ke dalam 2 tim: (1) kami namakan tim cupuers. Mengapa? Karena medan perjalanan yang kami kunjungi tidak begitu berat. (2) tim garang, selain subjek untuk diburu lebih banyak, medan yang dilalui pun jauh lebih terjal, berbatu, menanjak, gelap, dan yah … (selebihnya silakan deskripsikan sendiri)

Kurang lebih respon yang diberikan mereka hampir sama, mereka senang dengan kehadiran kami ke sana, mempedulikan dan membawakan sesuatu bagi mereka, yang menurut kami mungkin itu tak seberapa, tetapi bagi mereka itu sudah amat sangat berarti. Bahkan pada beberapa nenek yang umurnya mungkin sudah menginjak >75 tahun sampai menangis histeris, tak kuasa menahan haru, dan lagi-lagi kembali mengingatkan kami akan orang tua yang mungkin selalu merindukan anak-anaknya ketika mereka sendiri di rumah, dan selalu mengharapkan kehadiran anak-anaknya untuk segera pulang, sampai kecemasan yang orang tua rasakan ketika anaknya beranjak dewasa dan akan meninggalkan mereka. Ya, kami tersadarkan akan hal itu.

Rasa syukur tak henti-hentinya atas semua nikmat serba kecukupan yang kami miliki. Malu, bahwa mereka yang hidup seadanya saja tak pernah ambil pusing dengan kondisinya, tetap menikmatinya, dan  bagi mereka seperti tak pernah ada kuasa untuk mengeluhkan kondisinya. Sedang kami? Yang serba mudah, akses kemanapun bisa, kendaraan apapun ada di kota, semua kemudahan komunikasi dimiliki, lalu apa? Bersyukurpun mungkin sering luput dari ucapan dan perbuatan kami…

Tak berhenti di perjalanan malam gelap gulita berburu janda, keesokan harinya, kami membuka balai pengobatan gratis di salah satu rumah warga yang kami tumpangi.Mencengangkan dan cukup menjadi PR besar untuk kami, untuk saya terutama. Melihat kenyataan bahwa, di desa yang terlihat sudah cukup berkembang itu tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai, tidak ada bidan di desa tersebut, bahkan unit pelayanan kesehatan terkecil pun yakni posyandu, pada kegiatan posyandu, tak pernah ada bidan/ tenaga kesehatan lain yang datang. Kalau ditanya  dimana mereka yang akan bersalin lalu melahirkan oleh siapa ditolongnya, maka sudah pasti jawabannya oleh dukun beranak, bagaimana tidak? Tak ada satu pun Nakes di desa tersebut. Adapun Nakes di sana hanya seorang mantri, itupun tadi, ketika ada sesuatu yang berbahaya, ya mereka harus menyebrangi danau dan naik perahu untuk menolong warga di sana.

Menjadi PR besar bahwa bukan hanya kesehatan yang masih sangat sangat jauh membutuhkan perhatian dan sentuhan tangan-tangan yang betul-betul ingin mengabdikan diri di sana, dari bidang pendidikan pun begitu. Di desa sana hanya memiliki 1 bangunan SD, itupun tadi, SD tersebut letaknya cukup jauh dan harus menyebrang danau terlebih dahulu sebelum tiba di sana. Adapun lewat darat bisa saja, tetapi letaknya sangat jauh dengan medan perjalanan yang cukup membuat dahi berkernyit.

Tak pernah habis memang, sudah seperti mata rantai yang membuat kami pun bingung harus memulai dari mana dan oleh siapa? PR itulah yang harus mendapatkan jawabannya dengan segera, cepat atau lambat, oleh kami atau oleh siapapun… mereka yang sepenuhnya mau mengabdi, adalah di sini ladang yang tepat untuk mengabdikan diri...

Kontributor:
Andina Rostaviani
Volunteer Doctors Gelombang 3

0 comments: